Peninjauan Kembali Perdata: Syarat dan Ketentuan Berdasarkan Undang-Undang

46

Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh dalam sistem peradilan di Indonesia, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Upaya ini dapat diajukan oleh terdakwa atau pihak berperkara yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Peninjauan Kembali memungkinkan terdakwa atau pihak berperkara untuk meminta pengadilan yang lebih tinggi agar dilakukan pemeriksaan kembali putusan tersebut. Pengajuan PK hanya bisa dilakukan dengan syarat atau ketentuan tertentu sesuai dengan aturan Undang-Undang.

Dalam konteks hukum perdata, Peninjauan Kembali memiliki peranan penting sebagai mekanisme untuk memastikan keadilan. Hal ini sangat penting terutama apabila terdapat kekeliruan dalam penerapan hukum atau ditemukan bukti baru yang dapat memengaruhi putusan.

Dasar Hukum Peninjauan Kembali

Dasar hukum perihal Peninjauan Kembali termuat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009. Dalam proses hukum perdata, PK bisa diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Syarat Peninjauan Kembali Perdata

Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan dengan syarat atau alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam UU, seperti memiliki bukti baru (novum), terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata dalam putusan, dan jika ditemukan kecurangan dari pihak lawan yang memengaruhi putusan.

Dalam putusan perkara perdata yang telah inkrah atau memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan PK bisa diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sesuai Pasal 67 UU Mahkamah Agung (MA) sebagai berikut:

  1. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Batasan Waktu dan Tantangan dalam PK

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengajuan PK adalah batasan waktu. Undang-undang menetapkan bahwa permohonan PK harus diajukan dalam jangka waktu 180 hari sejak ditemukannya alasan yang dijadikan dasar PK, seperti bukti baru atau adanya kekhilafan hakim. Batasan waktu ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan hak untuk mengajukan PK.

Namun, meskipun PK merupakan upaya hukum yang dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh keadilan, ada tantangan tersendiri dalam prosesnya. Salah satunya adalah pembuktian adanya alasan-alasan yang sah untuk PK, seperti bukti baru yang belum pernah diajukan di pengadilan sebelumnya. Selain itu, proses pemeriksaan PK di Mahkamah Agung yang terkadang memakan waktu lama dapat menjadi tantangan bagi para pihak yang menginginkan kepastian hukum.

Demikianlah ulasan mengenai Peninjauan Kembali Perdata atau PK dalam proses hukum perdata. Peninjauan Kembali bisa dilakukan oleh terdakwa atau pihak yang merasa dirugikan dengan putusan inkrah, dengan memiliki syarat atau alasan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

Tags: Hukum, Peninjauan Kembali, Peninjauan Kembali Perdata, PK, Tjandra